Tanthawi Al-Jauhari

Written By Admin on Thursday, June 3, 2010 | 1:45 AM

Tanthawi bin Jawhari dilahirkan pada tahun 1287 H/1862 M (ada pula yang menyebut tahun 1870 M) di desa 'Iwadillah, di propinsi administratif Mesir Timur, dekat dengan peninggalan Fir'aun. Sejak kecil Tanthawi hidup bertani bersama orang tuanya, tapi ia juga belajar di kuttab (semacam pesantren penghafal Al Quran) yang berada di desa al-Ghar, di samping belajar pada pamannya, yang masih keturunan bangsawan. 

Perjalanan Menuntut Ilmu
Orang tuanya menginginkan Tanthawi kelak menjadi orang terpelajar. Oleh karena itu, setelah menamatkan serangkaian pendidikan formal dikota kelahirannya, ia melanjutkan studinya di Universitas AI-Azhar. Atas saran pamannya, Syeikh Muhammad Syalabi, yang juga Guru Besar bidang sejarah di Universitas AI-Azhar, Tanthawi pun mempelajari ilmu bahasa Arab (fashahah dan balaghah) serta ilmu agama,. Tetapi karena faktor kesehatan, studinya terhenti. la kembali ke habitat keluarganya, yaitu bertani.

Kendati demikian, minat belajarnya tak terhenti. Di tengah kesibukannya, Tanthawi selalu mengamati dan memperhatikan pepohonan, bunga-bunga, dan tanaman lainnya. Mulai dari proses tumbuhnya, fungsinya, hingga manfaatnya di bidang kedokteran. Ternyata Allah SWT membukakan mata hatinya untuk mengetahui ilmu-ilmu alam. Saat memperhatikan keindahan dan keelokan alam, ia pun berdoa semoga Allah SWT memberikan kesembuhan padanya. Doanya dikabulkan dan ia pun kembali masuk ke Al-Azhar setelah tiga tahun meninggalkannya. Kali ini, Tanthawi belajar al-Khitabah (seni berpidato) dan ilmu falak pada Syekh 'All AI-Bulaqi selama empat tahun.

Di Universitas AI-Azhar ia bertemu dengan Muhammad Abduh, dosen tafsir, yang besar pengaruhnya terhadap pemikiran Tanthawi, terutama dalam bidang tafsir. Tanthawi selalu berusaha mengikuti kuliah yang diberikan Muhammad Abduh.

Tahun 1889, Thanthawi pindah ke Universitas Dar al-'Ulum, hingga tamat pada 1893. Di sini ia mempelajari beberapa mata kuliah yang tidak diajarkan di Al-Azhar, seperti matematika (al-Hisab), ilmu ukur (handasah), aljabar, ilmu falak, botani ("ilm al-Nabat), fisika ('ilm al-Habi'ah), dan kimia (al-Kimiya').

Setelah menyelesaikan studinya, beberapa waktu lamanya Tanthawi mengajar di tingkat Ibtidaiyah dan Tsanawiyah. Kemudian ia mengajar di almamaternya, Dar 'Ulum. Lalu tak lama kemudian (1912) ia juga mengajar di al-Jami'ah ai-Mishriyyah untuk bidang studi Filsafat Islam.

Di samping mengajar, Tanthawi juga aktif menulis, Selain artikel-artikelnya selalu muncul di Marian Al-Liwa, ia telah menulis iak kurang dari 30 judul buku, sehingga dirinya dikenal sebagai tokoh yang menggabungkan dua peradaban. yaitu agama dan perkembangan modern pemikiran sosial-politik. (M. Ali al-lyazi dalam Al-Mufassirun Hayatuhum wa Manhajuhum 1373 H: 429).

Ketika pecah Perang Dunia I (1914), Tanthawi banyak membangkitkan semangat penduduk di sekitar Dar al-'Ulum untuk melawan Inggris, baik melalui tulisan maupun ceramah atau khutbah, la juga tergabung dalam Partai Nasional yang dibentuk oleh Musthafa Kamil. Selain itu ia membentuk kelompok mahasiswa yang diberinya nama 'al-Jam'iyah al-Jawhariyah' (Organisasi Mutiara). Organisasi ini berpengaruh dalam menyebarkan rasa kebangsaan dan martabat peradaban rakyat Mesir, khususnya di daerah Iskandariyah.

Wafat
Tanthawi wafat pada 1940 M/1358 H,

Pandangan Ulama Terhadapnya

Para ilmuwan memberikan ragam penilaian terhadap Tanthawi. Ada yang menyatakan, ia seorang sosiolog (hakim ijtima’i) yang selalu memperhatikan kondisi umat. Pernyataan ini didasarkan pada dua karya tulisnya: (1) Nahdlah al-Ummah wa Hayatuha (Kebangkitan dan Kehidupan Umat) yang membahas sistem kehidupan sosial, kondisi umat Islam, ilmu dan peradaban, hubungan antara dua peradaban umur dan barat yang mestinya saling menguntungkan. (2) Aina al-lnsan. membahas tentang hubungan antara organisasi atau kelompok, masalah politik dan sistem pemerintahan (makalah disampaikan pada Kongres Ilmu Pengatahuan di Inggris, Juli 1911).

Ada juga yang memposisikan Tanthawi sebagai seorang teosofi alam (Hakim Thabi'i Lahuti) yang banyak mengkaji permasalahan sekitar ruh, keajaiban atau keanehannya. Penilaian ini dilandasi oleh beberapa bukunya, seperti (1) Jawahir al-'Ulum (Mutiara Ilmu), dijadikan sebagai buku pegangan di sekolah-sekolah Mesir, mengisahkan pemuda Mesir yang ingin menikah dengan putri Persia keturunan Turki; (2) al-Aiwah (Ruh). dan (3) al-Nidzam wa al-lslam (Peraturan Hukum dan Islam). Selain itu Tanthawi juga banyak membahas tentang objek materi dan hukum alam, sebagaimana terungkap dalam bukunya Nidzam al-'Alam wa al-Umam (Keteraturan Alam Semesta dan Girl Bangsa-bangsa), membahas tentang dunia tumbuhan, hewan, manusia, pertambangan, sistem ruang angkasa (Nidzam al-Samawat) fenomena kehidupan raja, politik Islam, dan " politik konvensional, terbit 1905. Ia mengangkat dua ide besar yaitu: bahwa agama Islam merupakan agama fitrah, relevan dengan rasio manusia dan penciptaan jasmani manusia (al-Jhiba' al-Basyariyah), dan bahwa agama Islam kompatibel dengan hukum alam dan ilmu- ilmu modern.

Peneliti lain menempatkan Tanthawi pada posisi pakar keislaman yang menafsirkan Al Quran sesuai dengan zaman modern (waktu itu). Pernyataan ini terlihat jelas dalam kitab tafsirnya Al-Jawahir dan karya lainnya, yaitu Al-Taj wa al-Murassha (Mahkota dan Mutiara), yang menjelaskan berbagai fenomena alam serta membahas titik temu antara filsafat Yunani. ilmu modern dan teks Al Quran (makalah disampaikan pada Muktamar Agama-agama di Jepang, 1906). Santilana [Filosof Italia] telah meringkas buku ini dengan judul Shadyu Shaut at-Misriyyin bi Uruba.

Karya

Sebagian karya tulis Tanthawi telah disebutkan di atas, sebagiannya pula telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa Eropa. Beberapa buku lainnya adalah:
  1. Jamal al-'Alam (Keindahan Alam), membahas tentang hewan, burung, serangga, dikemas dengan cara ilmiah dan agamis, dicetak 1902 M/ 1320 H atas dorongan 'penyair sungai Nil1, Hafidz Bek Ibrahim.
  2. Buhjah al-'Ulum fi al-Falsafah al- 'Arabiyah wa Muwazanatuha bi al-'Ulum al- 'Ashriyah (Keelokan ilmu pengetahuan dalam Filsafat Arab serta Posisinya-dalam ilmu-ilmu kontemporer), terbit 1936,memuat uraian agama dan filsafat, filsafat Al-Farabi, serta sejarah filsafat Yunani.
  3. Al-Musiqa al-'Arabi (Musik Arab), memuat tiga artikel tentang seni musik dan filsafat musik,asal usul ilmu arud serta pendapat ahli hikmah tentang musik.
  4. Sawanih al-Jawhar! (Kesempatan Berharga), kumpulan catatan harian Tanthawi. tentang alam sekitar dan perkembangan manusia, tabiat anak kecil, sikap kebarat-baratan yang menghalangi putra-putri muslim di negeri timur. Ia juga menafsirkan tentang 'nafsu syahwat yang dapat mencegah meningkatnya peradaban umat manusia, perlunya menyatukan langkah dan kebijakan dalam memajukan bidang dan akhlak yang mulia. 
  5. Al-Sirr al- 'Ajib fi Hikmah Ta 'addud Azwaj al-Nabi (Rahasia Agung Tentang Hikmah Poligami Nabi). Sesuai dengan judulnya buku ini membahas tentang poligami di kalangan umat Islam, serta praktek poligami yang dilakukan Nabi saw. 
  6. Bara'ah al-'Abbasiyah, buku sejarah yang dikemas dalam bentuk sastra, mengklarifikasi kekeliruan sejarah antara George Zaidan dan Ja'far al-Barmaki yangh ditulis semasa Kihalifah Harun al-Rasyid. 
  7. Risalah 'Ain al-Namiah (Tulisan Tentang Semut), mengungkapkan perjalanannya bersama ahli kedokteran dan dosen-dosen lain mengenai keajaiban semut, seperti mata semut yang tersusun alas 200 "bola mata" dan setiap mata bersifat otonorn penuh. 
  8. Al-Qur'an wa al- Vium al-Ashriyyah (Al Quran dan llmu-llmu Modern), terbit tahun 1342 H/1923, isinya mendorong umat Islam untuk menghimpun kemampuan mereka dan menguasai ilmu-ilmu mdern, sehingga mereka menjadi pemilik yang sah, dari ilmu pengetahuan sebagaimana yang telah Allah janjikan agar umat
Islam menguasai burni dengan adil.

Tafsir llmiah

Ada berbagai penilaian para pakar tentang Tafsir llmiah. Pertama, ada pendapat bahwa tatsir ilmiah berfungsi sebagai tabyin, yakni menjelaskan teks Al Quran dengan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dimiliki sang mufassir. Kelompok ini diwakili oleh al-Zahabi dan Abu Hamid Al-Ghazali (w 1111 M).

Kedua, ada yang cenderung melihat tungsinya sebagai i'jaz al-Qur'an, pembuktian atas kebenaran teks Al Quran dalam pandangan ilmu pengetahuan yang selanjutnya dapat memberikan stimulan bagi umat Islam, khususnya para ilmuwan dalam meneliti (investigate) ilmu pengetahuan lewat teks Al Quran, Kelompok ini diwakili oleh Imam al-Suyuthi dan Muhammad bin Ahmad Al-lskandaran?.

Ketiga, berkeinginan menjadikan penafsiran ini sebagai istikhraj al'ilm atau fa'zfz, yaitu teks atau ayat-ayat Al Quran mampu melahirkan dan memperkuat teori-teori ilmu pengetahuan mutakhir dan modern. Kelompok terakhir ini diwakili oleh Muhammad All lyazi (1333 H) dan Abu Al-Fadl al-Mursi.

Menurut penelitian Tanthawi, tidak kurang dari 750 ayat Al Quran berbicara dan rnendorong manusia ke arah kemajuan ilmu pengetahuan. Ia heran mengapa mufassir klasik hanya mengkaji dan menekankan banyak hal tentang ilmu fikih - yang tidak lebih dari 500 ayat shareh - dan lengah terhadap arahan Al Quran tentang ilmu tumbuh-tumbuhan, biologi, ilmu hitung, fisika, sosial dan seterusnya. Inilah salah satu hujjah mengapa Tanthawi kemudian memunculkan satu corak tafsir dengan pendekatan ilmiah, sebagaimana tertuang dalam mukaddimah tafsirnya (Jilid 1:3).

Menurut Jansen dalam Diskursus Tafsir al-Qur'an Modern (1977:72), model penafsiran Tanthawi cukup mempengaruhi sebagian besar masyarakat ketika itu, bahkan hingga kini, terutama mereka yang bergerak di bidang ilmu alam, fisika, biologi dsb. Tetapi ada saja sekelompok orang yang justru menyerang pendapat-pendapat Tanthawi. 'Serangan-serangan itu dijawabnya dengan senyum dan hujjah intelektual.

Latar Belakang Penulisan

Bagi Tanthawi, tuanya usia bukan soal untuk tetap konsen di dunia tulis menulis. Bahkan keriputan kulit jari jemarinya memberikan ‘ilham’ tersendiri untuk memunculkan berbagai karya. Di usia senjanya (60 tahun), Tanthawi mampu menghadirkan karya besarnya, yaitu kitab al-Jawahir fi Tafsir al-Qur'an al-Karim. Tafsir ini terdiri dari 25 jilid dan pertama kali dicetak di Kairo oleh penerbit Muassasah Musthafa al-Babi al-Halabi tahun 1350 H/ 1929 M, Sementara cetakan ketiga di Beirut, Dar ai-Fikr tahun 1395 H/1974 M.

"Sejak dahulu aku senang menyaksikan keajaiban alam, mengagumi dan merindukan keindahannya baik yang ada di langit atau kehebatan dan kesempurnaan yang ada di bumi. Perputaran atau revolusi matahari, perjalanan bulan, bintang yang bersinar, awan yang berarak datang dan menghilang kilat yang menyambar seperti listrikyang membakar, barang tambang yang elok, tumbuhan yang merambat, burung yang beterbangan, binatang buas yang berjalan, binatang ternak yang digiring, hewan-hewan yang berlarian, mutiara yang berkilauan, ombak laut yang menggulung, sinar yang menembus udara, malam yang gelap, matahari yang bersinar dan sebagainya". Itulah yang mendorong Tanthawi menyusun pembahasan-pembahasan yang dapat mengkornpromikan pemikiran Islam dengan kemajuan studi Ilmu Alam.

Al Quran menuliskan keajaiban-keajaiban tersebut, menampakkan alam fisik yang tersebar, langit yang ditinggikan. Kesemuanya memberikan kebahagiaan bagi orang yang memiliki 'mata hati' (dzu al-Bashair) dan memberikan sinar serta pelajaran (tabsirah) bagi orang-orang yang membenarkan rahasia-rahasia Tuhan.

Selanjutnya ia menyatakan : "Tatkala diriku berfikir untuk merenungi keadaan umat Islam sekarang, dan kondisi pendidikan agamanya, maka aku menuliskan surat kepada beberapa tokoh cendekiawan (al-'Uqala) dan para ulama besar (ajiilah al-'Ulama ) tentang makna-makna alam yang ditinggalkan, juga tentang jalan keluarnya yang masih banyak dilalaikan dan dilupakan. Sebab sedikit sekali di antara para ulama yang memikirkan realitas alam sernesta dan keanehan-keanehan yang ada di dalamnya."

Selanjutnya Tanthawi menyatakan bahwa: "...di dalam karangan-karangan tersebut aku memasukkan (mazajtu) ayat-ayat Al Quran dengan keajaiban-keajaiban alam semesta; dan aku menjadikan wahyu iiahiyah itu sesuai dengan keajaiban-keajaiban penciptaan, hukurn alam, munculnya bumi disebabkan cahaya Tuhan-nya. Maka aku rneminta petunjuk (tawajjuh) kepada Tuhan yang Maha Agung agar memberikan taufik dan hidayah-Nya sehingga aku dapat menafsirkan Al Quran dan menjadikan segala disiplin ilmu sebagai bagian dari penafsiran serta penyempurnaan wahyu Al Quran (Juz 1, h 2, Mukaddimah).

Tafsir ini, ditulisnya pertama kali ketika ia mengajar di Universitas Dar Al-'Ulum. Mesir, lalu dimuat di majalah AI-Malaji' Al-'Abasiyah. Tujuannya agar umat Islam 'menyenangi' keajaiban alam semesta. keindahan-keindahan bumi, dan agar para generasi berikutnya cenderung pada nilai agama, sehingga Allah SWT mengangkat peradaban mereka ke tingkat yang tinggi.

Metode Penulisan

Kitab al-Jawahir ini ditulis berdasarkan urutan mushaf Utsmani. Sebelum menafsirkan surah al-Fatihah, Tanthawi terlebih dahulu merigutip surah Al-Nahl [16];89 dalam uraian "Kata Pendahuluan" (Mukaddimah). Berbeda dengan jilid kedua dan selanjutnya, di mana ia menjadikan ayat AI-Nahl [16]:44 sebagai 'motto' uraiannya.

Setiap surah yang ditafsirkan, Tanthawi kerapkali mengklasifikasikannya sebagai surah Makkiyah atau surah Madaniyah sesuai periode turunnya Al Quran. Namun ia tidak menjelaskan secara rinci tentang adanya ayat tertentu yang berbeda klasifikasi periode turunnya dengan karakteristik umum dari induk atau surah-nya, sebagaimana ia tidak mengung-kapkan perbedaan riwayat yang muncul terkait dengan klasifikasi suatu surah.

Kemudian Tanthawi menuliskan alasan, latar belakang, maksud dan tujuan penulisan tafsirnya ini, sebagaimana telah disinggung di atas, Ide-idenya yang berkenaan dengan tafsir Al Quran yang pernah diterbitkan dalam beberapa media sebelumnya kembali ia rangkum. Gambar-foto juga menjadi media pelengkap ketika Tanthawi menjelaskan ayat-ayat Al Quran yang berhubungan dengan alam.

Sudah barang tentu ketika ia menafsirkan kalam-kalarn suci Allah SWT, argumentasi ilmiah menyertai penjelasannya, terutama yang bersentuhan dengan alam secara umum. Sehingga 'hampir semua tokoh' sepakat mengkategorikan tafsir ini sebagai tafsir ilmiah. (Su'ud ibn Abdul Falah al-Fanisan, Ikhtiiaf al-Mufassinn, Asbabuhu wa atsaru 1997:53).

Akan tetapi ada juga pendapat bahwa corak ilmiah tafsir Tanthawi tidak sepenuhnya dapat dibenarkan, karena Al Quran bukanlah kitab 'llmu' melainkan kitab hudan bagi manusia. Menurut M. Quraish Shihab dalam Membumikan al-Qur'an, (1999:72), petunjuk Al Quran ada yang berbentuk lafzi, kiasi, isyarat dan yang tersurat berkenaan dengan ilmu pengetahuan guna mendukung fungsinya sebagai hudan.

Sebagai bukti bahwa apa yang telah didapat oleh para ilmuan tentang kecocokan hasil penelitlan mereka dengan pesan Al Quran sangat terbatas. Misalnya, ketika para dokter berhasil 'menciptakan' alat untuk mengetahui apakah janin dalam kandungan seorang ibu hamil itu laki-laki atau perempuan berikut perkiraan lahirnya. Narnuri prediksi itu kerapkali keliru, mereka juga tidak tahu pasti kapan bayi itu akan lahir, berapa beratnya, bagaimana bentuk rarnbut, wajahnya dan Iain-lain.

Kita ambil contoh bagaimana Tanthawi menafsirkan ayat Al Quran yang berbunyi Keakraban para pembaca Al Quran di Marako. (artinya): "Wahai manusia, jika kamu dalam keraguan tentang kehangkitan, maka ketahuilah sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan bahwa kamu sebagai bayi, kemudian secara berangsur-angsur kamu menjadi dewasa, dan (ada pula) di antara kamu yang dipanjangkan umurnya sampai pikun, dan ia tidak mengetahui lagi sesuatu yang pernah ia ketahui. Dan kamu lihat bumi ini kering, kemudian bila Kami turunkan air, hiduplah bumi dan subur serta tumbuhlah berbagai macam tumbuhan yang indah"

Dalam menafsirkan ayat ini Tanthawi memberikan kiasan bahwa manusia itu berasal dari tanah, sebagaimana juga hewan dan tumbuh-tumbuhan. Unsur air juga menjadi penyebab tumbuhnya manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan. Setelah menjelaskan proses keajaiban manusia di dalam rahim seorang ibu, ia menegaskan bahwa inilah dalil penting tentang ilmu al-Ajnah atau embriologi manusia dan ilmu ini wajib dipelajari. Tanthawi berpendapat bahwa ayat di atas menunjukkan betapa pentingnya ilmu alam dan mempelajarinya adalah satu hal yang wajib. Karena Al Quran hanya memberikan petunjuknya secara global dan untuk kesernpurnannya dibutuhkan pengetahuan lainnya.

Achmad Baiquni melontarkan pertanyaan di dalam bukunya, Al-Qur'an dan ilmu Pengetahuan Kealaman (1997:187), kenapa seorang anak mewarisi sifat atau mungkin watak kedua orang tuanya"? Secara ilmiah hal ini disebabkan oleh percampuran kromoson (sel laki-laki dan perempuan). Setelah kromosom berkumpul menjadi satu kemudian membelah dan berakhir dengan terjadinya dua buah sel keturunan. Lalu sel-sel keturunan itu meneruskan pembelahan, dan tiap sel yang dihasilkan merupakan kopian dari pendahulunya. Itulah sebabnya, kenapa setiap anak harnpir dapat dikatakan pasti mewarisi sifat orang tuanya.

Contoh lain, ayat 58 surat ke-7 (al-A'raf). Ayat ini menunjukan bahwa walaupun Tuhan dengan kehendak-Nya diperlukan bagi tumbuhnya tanam-tanaman, kecocokan tanah juga merupakan syarat tumbuhnya tanaman tersebut, karena tidak semua tanaman dapat tumbuh pada setiap tanah. Maka dengan kecocokan tanah, Tuhan menjadikan tanaman itu mungkin untuk tumbuh. Tafsiran ini menunjukkan bahwa Tanthawi berusaha untuk memberikan 'nuansa baru', bahwa Al Quran sudah memberikan petunjuk tentang keilmiahannya, dan keilmiahan itu sesuai dan berlaku dengan ilmu pengetahuan yang ada.

Referensi:
http://almudarris.multiply.com/reviews/item/19
Amin, Ghofur Saiful , Profil Para Mufasir al-Qur’an, Yogyakarta, Puataka Insan Madani, 2008.

0 comments:

Post a Comment

Grab this Widget ~ Blogger Accessories