Pandangannya tentang Iman
Imam Abu Hanifah mengawali kehiduan intelektualnya dalam bidang ilmu kalam (teologi), dengan mengembara ke Basrah, yang menjadi pusat aliran teologi pada saat itu. Abu Hanifah mendefinisikan iman sebagai pengakuan (iqrar) dengan lisan dan pembenaran (tasdiq) dengan hati. Dan ia memahami Islam sebagai penyerahan diri dan tunduk terhadap perintah dan hukum Allah. Dari segi istilah, iman dan Islam memang berbeda, tetapi keduanya ibarat dua sisi mata uang. Seseorang tidak bisa disebut mukmin tan pa disertai dengan Islam, sebaliknya, tidak disebut seorang muslim kalau tidak beriman. Dengan demikian, iman bukan sekedar pengakuan dengan hati, ataupun dengan ucapan saja, namun harus disertai dengan penyerahan diri sepenuhnya.
Abu Hanifah menolak pandangan kaum Khawarij yang menyatakan bahwa pelaku dosa besar dianggap kafir dan harus dikeluarkan dari komunitas muslim. Menurutnya, pelaku dosa besar tetaplah seorang mukmin. Dalam kitab Fiqh Al-Akbar, secara eksplisit ia menyatakan bahwa iman tidak bisa dibagi-bagi ke dalam bagian-bagian, dan iman tidak bisa bertambah ataupun berkurang. Walaupun pada akhirnya ia menghargai bahwa manusia bisa berbeda dalam perilaku dan aktifitas. Oleh karena itu, Ghasan Al-Murji’i As-Shahrastani dan Al-As’ari mengklaim bahwa Abu Hanifah termasuk golongan Murji’ah Ahlu Sunnah. Walaupun Abu Hanifah keberatan disebut dengan sebutan Murji’i.
Prinsip dasar kata irja’ menurut Abu Hanifah adalah mengembalikan kepada Allah, mengenai urusan Utsman Dan Ali. Hal ini sekaligus penolakan terhadap doktrin Khawarij tentang pengusiran pelaku dosa besar dari komunitas muslim, yang berarti mereka menganggap bahwa Khalifah Utsman adalah khalifah yang syah secara hukum. Abu Hanifah juga menolak doktrin Syi’ah tentang superioritas Ali atas khalifah lainnya.
Konsep iman dan irja’ mampu membantu mengatasi kegelisahan moral dimasyarakat, yang disebabkan pandangan kaum Khawarij. Para pelaku dosa tetap memiliki harapan untuk masuk surga, jika mereka mau bertobat. Pendapat Abu Hanifah ini selaras dengan pendapat para ulama sesudahnya seperti Al-Asy’ari.
Pandangannya tentang qadha’ dan qadar
Abu Hanifah memahami qada’ sebagai ketetapan Allah dengan wahyuNya dan qadar adalah sesuatu peristiwa terjadi atas kekuasaanNya sebelum ciptaan itu terjadi. Ia menolak pandangan Mu’tazilah dan Murji’ah yang meyakini bahwa manusia mempunyai kebebasan dalam berbuat. Menurutnya, tidak ada perbuatan manusia yang terjadi tanpa kehendak Allah. Akan tetapi, patuh dan tidaknya manusia kepada Allah, tergantung kehendaknya sendiri. Artinya, apa yang terjadi pada diri manusia tidak sepenuhnya ketentuan Allah secara mutlak, karena Dia memberi pilihan dan kehendak kepada manusia. Abu Hanifah juga tidak sependapat dengan pandangan kaum Jabariyah yang menganggap bahwa segala perbuatan manusia sudah ditentukan oleh Allah, manusia tidak mempunyai andil sama sekali.
Pandangan Abu Hanifah mengenai permasalahan kebebasan berkehendak, tidak jauh berbeda dengan Al-Asy’ari, hanya saja Al-Asy’ari menggunakan istilah kasab dan ikhtiar untuk menyebut tindakan manusia, sedangkan Abu Hanifah menggunakan istilah ikhtiar dan iradah.
Pandangannya mengenai Al-Qur’an
Menyangkut permasalahan Al-Qur’an, pandangan Imam Abu Hanifah lebih dekat dengan Imam Ahmad bin Hambal, yang menyatakan bahwa Al-Quran adalah kalam Allah, bukan makhluk. Hal ini bertentangan dengan pandangan kaum Mu’tazilah yang menganggap Al-Qur’an sebagai makhluk. Ia berusaha untuk mengukuhkan superioritas Al-Qur’an atas segala bentuk pemiiran dan pengetahuan manusia. Namun ia juga mengemukakan nilai filosofi mengenai esensi dan eksistensi Al-Qur’an, dengan menyatakan bahwa setiap penyalinan Al-Qur’an adalah makhluk. Jadi tidaklah benar pendapat yang menyatakan bahwa Abu Hanifah adalah orang yang pertama kali menyatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk.
Sumber: Antologi Kajian Islam, Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Press
0 comments:
Post a Comment