Kata “ar-ra’yu” yang berarti “kebebasan pemikiran”, cenderung berkonotasi pada rasionalitas ijtihad terhadap penafsiran al-Qur’an. Ini berarti, al-Qur’an dianggap sebagai teks “fleksibel” yang memberi ruang gerak secara bebas bagi mufassir untuk menentukan dan memberi penafsiran sesuai dengan “kepentingannya”. Sehingga perlu adanya syarat-syarat tertentu yang membatasi pengertian Tafsir bi ar-ra’yi terutama dalam aplikasinya. Ijtihad yang dimaksud disini adalah berdasarkan dasar-dasar yang benar dan kaidah-kaidah yng lurus. Jadi, jelaslah bahwa tafsir bi ra'yi bukanlah sekedar berdasarkan pendapat atau ide semata, atau hanya ekedar gagasan yang terlintas dalam fikiran seseorang.
Sebagaimana yang diriwayatkan at-Turmudzi, bahwa; "Barang siapa menafsirkan al-Qur’an dengan tanpa berdasarkan “pengetahuan” (al-ilmu), maka neraka adalah tempatnya”.
Al-Qurthubi berkata: "Barangsiapa berkata tentang Al-Qur'an (menafsirkannya) dengan suatu dugaan atau gagasan yang terlintas dalam fikirannya, tanpa adanya dasar-dasar yang kuat, maka ia salah dan tercela. Dan dia termasuk dalam golongan orang yang disebut dalam sebuah hadits yang berbunyi: "Barangsiapa dengan sengaja berbohong atas namaku, maka ambillah tempat duduknya di neraka (HR. Tirmidzi dari Ibnu Abbas)
Terdapat dua pendapat terhadap Hadits-hadits semacam ini; pertama, bila proses tafsir tersebut tidak berdasarkan riwayat-riwayat. Kedua, bila penafsiran tersebut berlawanan dengan teks al-Qur’an yang kemudian dinilai sebagai suatu kebenaran.
Pembagian Tafsir bi Ra'yi:
Tafsir bi ra'yi terbagi menjadi dua jenis:
1. Tafsir Mahmud
Yaitu suatu penafsiran yang cocok dengan tujuan syar'i, jauh dari kesalahan dan kesesatan, sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa Arab, serta berpegang teguh pada ushlub-ushlubnya dalam memahami nash Al-Qur'an. jadi barangsiapa menafsirkan Al-Qur'an dengan memenuhi syarat-syarat tersebut, maka tafsirnya patut disebut afsir tafsir mahmud atau tafsir masyru'.
2. Tafsir Al-Bathil Al-Madzmum
Yaitu penafsiran berdasarkan hawa nafsu, yang berdiri di atas kebidihan dan kesesatan. Manakala seseorang tidak faham dengan kaidah-kaidah bahasa Arab, serta tujuan syara', maka ia akan jatuh dalam kesesatan, dan pendapatnya tidak bisa dijadikan acuan.
Referensi:
- As-Suyuthy, hlm 179, lihat juga at-Turmudzi, sunan, kitab tafsir Al-Qur’an, hadits nomor: 2874
- As-Shabuni, Muhammad Ali, At-Tibyan fi ‘Ulumil Qur’an, versi terjemah, judul:Ikhtisar Ulumul Qur’an Praktis, diterjemahkan oleh Muhammad Qadirun Nur, Penerbit Pustaka Amani Jakarta, th. 2001
- Baiquni, Al-Qur’an dan Ilmu Pengetahuan Kealaman , hlm. 212
0 comments:
Post a Comment