Tafsir Bil Ma’tsur

Written By Admin on Saturday, June 12, 2010 | 12:41 AM

Metode tafsir bil ma’tsur/ bir riwayah adalah metode menafsirkan Al-Qur’an dengan merujuk pada pemahaman yang langsung diberikan oleh Rasulullah kepada para sahabat, lalu turun menurun kepada tabi’in; tabi’it tabi’in, dan seterusnya hingga masa sekarang. Metode ini mendasarkan tafsir pada kutipan-kutipan yang shahih sesuai urutan-urutan persyaratan bagi para mufasir. Yaitu:

1. Menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an:
    Yang pertama-tama adalah dengan mendahulukan penafsiran Al-Qur’an dengan Al-Qur’an. Metode ini merupakan bentuk tafsir yang tertinggi. Karena Al-Qur'an merupakan sumber yang paling benar, yang tidak mungkin terdapat kesalahan di dalamnya.
    Misalnya dalam surat Al-Hajj: 30:
    "Dan telah dihalalkan bagi kamu semua binatang ternak, terkecuali yang diterangkan kepadamu keharamannya...". Kalimat 'diterangkan kepadamu' (illa ma yutla 'alaikum) ditafsirkan dengan ayat:
    "Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah..(QS.l-Ma'idah:3)


    2. Menafsirkan Al-Qur’an dengan As-Sunnah/Hadits:

    Yang kedua adalah dengan mencari penafsiran berdasarkan Hadits, karena sesungguhnya Hadits berfungsi sebagai pensyarah dan penjelas Al-Qur’an.Misalnya, dalam menafsirkan ayat berikut ini:
    "pada hari itu bumi menceritakan beritanya",(QSAl-Zalzalah:4)
    Nabi SAW bersabda: "apakah kamu semua mengerti apa pengabaran itu? Mwreka berkata, "Allah dan Rasulnya lebih mengetahui". Beliau bersabda, "Penyaksian atas amal seorang hambapada punggungnya. Kamu berbuat pada hari ini dan hari ini"

    3. Menafsirkan Al-Qur’an dengan pendapat para sahabat:

    Sahabat adalah seorang yang hidup pada masa Rasulullah hidup, berjumpa dengan beliau, lalu beriman hingga akhir hidupnya. Mereka inilah yang menyaksikan langsung ketika ayat Al-Qur’an diturunkan, dan juga mengetahui asbabun nuzul. Sehingga bilamana tidak terdapat penjelasan dalam Al-Qur’an dan Hadits atas suatu ayat, maka disyaratkan untuk menafsirkan ayat tersebut dengan menggali pendapat para sahabat. Al-Hakim berkata: "Sesungguhnya tafsir para sahabat yang telah menyaksikan wahyu diturunkan adalah memiliki hukum marfu'. Artinya, tafsir para sahabat mempunyai kedudukan hukum yang sangat tinggi.

    3. Menafsirkan Al-Qur’an dengan pendapat para Tabi’in:

    Apabila tidak pula terdapat penafsiran dari para Sahabat, disyaratkan untuk menafsirkan ayat Al-Qur’an dengan pendapat dari para Tabi’in. Diantara para Tabi’in ada yang menerima seluruh penafsiran dari Sahabat. Namun, tidak jarang pula yang mendapatkannya secara istinbat, yaitu penyimpulan, dan istidlal, yaitu penalaran dalil. Tetapi, yang dapat dijadikan pedoman hanyalah pada penafsiran yang dinukilkan secara sahih.

    Tafsir bil Ma’tsur adalah tafsir yang harus diikuti dan dijadikan pedoman karena mengandung pengetahuan yang benar dan merupakan jalan yang paling aman untuk menjaga diri dari ketergelinciran dan kesesatan dalam memahami kitabullah.

    Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata: “Tafsir itu ada empat macam; tafsir yang dapat dipahami orang Arab melalui bahasa mereka; tafsir yang harus diketahui oleh setiap orang; tafsir yang hanya diketahui oleh para ulama; dan tafsir yang tidak mungkin diketahui siapapun selain oleh Allah SWT.

    Referensi:
    • Al-Qur’an, Terjemahan Departemen Agama R.I.
    • Al-Qattan, Manna’ Khalil: Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an, diterjemahkan oleh drs. Mudzakkir A.S. dari judul asli: Mabahis fi ‘Ulumil Qur’an, Pustaka Lentera, Bogor. Cetakan ke-6, tahun 2001.
    • At-Tibyan fi ‘Ulumil Qur’an, Syeikh Muhammad Ali As-Shabuni, versi terjemah, judul:Ikhtisar Ulumul Qur’an Praktis, diterjemahkan oleh Muhammad Qadirun Nur, Penerbit Pustaka Amani Jakarta, th. 2001.
    • Qaradhawi, DR. Yusuf: Berinteraksi Dengan Al-Qur’an, diterjemahkan oleh Abul Hayyie Al-Kattani dari judul asli: Kaifa Nata’amalu Ma’a Al-Qur’anil ‘Azhim. Geme Isnasi Press, Jakarta. 1999.

    0 comments:

    Post a Comment

    Grab this Widget ~ Blogger Accessories